Kamis, 30 Oktober 2014

refleksi rindu dalam kalbu

“Dzur gibban tazdad hubban”. Begitulah kiranya kutipan arab yang kudengar saat masih menjadi santri. Makna yang didalamnya bergantung sebuah paradoks cinta, “Semakin lama bertemu, semakin bertambah rindu”, sebuah pepatah yang sangat familiar terdengar bagi para peserta setia Long Distance Relationship.

Actually, kutipan kecil itu bukan hanya berkisar tentang perasaan dua insan berlainan jenis. Rindu adalah milik mereka yang mencinta. Ibu pada anaknya, seorang kawan pada sahabatnya, dan juga satu jiwa pada bumi kelahiranya. Rindu yang lahir dari keinginan untuk bertemu. Bahkan, lebih dari itu, rindu adalah kata kerja yang bukan hanya berorientasi pada objek benda. Dengan keutuhan definisnya sebagai keinginan, rindu juga bisa dimiliki objek lain yang lebih absurd, seperti kata kerja yang lain, sebuah kegiatan, atau kejadian. Hal ini terjadi karena eksistensinya yang muncul dari “ketiadaan”. seperti ketiadaan cahaya yang melahirkan kegelapan. juga ketiadaan panas yang menimbulkan dingin.

Manis rindu adalah bumbu bagi pertemuan di masa depan. Menyiksa ibarat rasa gatal yang tak hilang saat digaruk, irreplaceable sensation. Bukan rindu jika memikirkanya masih malu. Beribu orang menggambarkan satu kata rindu, yang ditemuinya hanya jalan buntu. Penawarnya hanya satu. Bukan dalam kata syair atau lagu, melainkan satu titik bertemu.

Diferensial adalah pemantiknya. Tercipta atas adanya perbedaan melintang, dibangun dalam proses perubahan jarak, perilaku, dan waktu. Namun ada perubahan yang bisa mengenyahkan rindu, bak setetes nila pada segelas susu. seperti halnya panas yang takkan pernah merindukan dingin, cahaya yang takkan merindukan kegelapan, Mereka yang bertaubat takkan rindu bermaksiat.