“Dzur gibban tazdad hubban”. Begitulah
kiranya kutipan arab yang kudengar saat masih menjadi santri. Makna yang
didalamnya bergantung sebuah paradoks cinta, “Semakin lama bertemu, semakin
bertambah rindu”, sebuah pepatah yang sangat familiar terdengar bagi para peserta setia Long Distance Relationship.
Actually, kutipan kecil itu bukan hanya
berkisar tentang perasaan dua insan berlainan jenis. Rindu adalah milik mereka
yang mencinta. Ibu pada anaknya, seorang kawan pada sahabatnya, dan juga satu
jiwa pada bumi kelahiranya. Rindu yang lahir dari keinginan untuk bertemu. Bahkan,
lebih dari itu, rindu adalah kata kerja yang bukan hanya berorientasi pada
objek benda. Dengan keutuhan definisnya sebagai keinginan, rindu juga bisa dimiliki
objek lain yang lebih absurd, seperti kata kerja yang lain, sebuah kegiatan,
atau kejadian. Hal ini terjadi karena eksistensinya yang muncul dari “ketiadaan”.
seperti ketiadaan cahaya yang melahirkan kegelapan. juga ketiadaan panas yang
menimbulkan dingin.
Manis rindu adalah bumbu bagi pertemuan di
masa depan. Menyiksa ibarat rasa gatal yang tak hilang saat digaruk,
irreplaceable sensation. Bukan rindu jika memikirkanya masih malu. Beribu orang
menggambarkan satu kata rindu, yang ditemuinya hanya jalan buntu. Penawarnya
hanya satu. Bukan dalam kata syair atau lagu, melainkan satu titik bertemu.
Diferensial adalah pemantiknya. Tercipta
atas adanya perbedaan melintang, dibangun dalam proses perubahan jarak,
perilaku, dan waktu. Namun ada perubahan yang bisa mengenyahkan rindu, bak
setetes nila pada segelas susu. seperti halnya panas yang takkan pernah
merindukan dingin, cahaya yang takkan merindukan kegelapan, Mereka yang
bertaubat takkan rindu bermaksiat.