This just a little story about the most awesome extracurricular in ma'had. pemahamanku akan ekstrakulikuler paling dihindari para santri, dulu saat aku hidup di antara para pelaku sejarah lainya.
Satu hal yang sangat kuingat di masa-masa itu, Muhadloroh
adalah ekstrakulikuler fardhu muakkad pertama yang kami jalani di pesantren.
Dengan status newbie yang mentereng di wajah kami yang polos polos tanpa dosa,
kami diperkenalkan dengan ekstrakulikuler paling ditakuti sejagad pesantren. No
hard feelings, karena memang muhadloroh ini dalam skala serius 1-100, nilainya
99. Sistemnya adalah para santri diwajibkan membuat teks pidato dan
menghapalkanya lalu belajar berpidato di depan santri lain dalam satu firqoh
(kelompok) yang terdiri dari siswa kelas 1 hingga kelas 3.
Dimana bagian
seriusnya?? merata sob! Ga bikin teks pidato? ada hukumanya.
ga hapal teks pidato?? punishmentnya udah disiapin!.
Nervous dan ancur-ancuran waktu pidato. Just prepare yourself man...! :-3
Tapi bagian terburuknya bukan disitu. .the worst
part is that "we have to come!!" Seperti yang sudah kusebutkan, fardhu muakkad!
Dan ga ada istilah lain. satu-satunya kalimat yang dikenal para pengurus
hanyalah “sakit” (kalimat ini memegang saham 35% dalam nilai “1” pengecualian
dari skala keseriusan muhadloroh sob!). Di luar itu semua penghuni pondok
pesantren yang berjulukan santri WAJABA ALAIHIM hadir di firqohnya
masing-masing. Belum….masih belum kuceritakan mengapa muhadloroh menjadi the
most frightening ekstrakulikuler in this college. at least that’s the
impression guys, ketika hari muhadloroh ada, datang.
Hari
pertama ikut muhadloroh aku sudah terkejut. Beberapa senior kelas 3 dihukum
berat berkat tindakanya tidak membuat teks pidato, meskipun mereka berpidato
dengan baik sekalipun. Yupz! That’s one. Pelanggaran adalah pelanggaran.
Disiplin ditegakkan dengan tongkat besi disini, tertiup angin ia tak goyang,
gempa besar ia tak roboh, disambar
petirpun ia hanya menghantarkan efeknya, tetap berdiri kokoh.
Hari
kedua aku dapat jatah pidato. Sebagai anak baru yang masih bau kencur kue
cucur, level pidato yang dibawakan bisa dengan judul mudah, “in the class/fi
fasli (for arabian language)”. Kecuali untuk bahasa indonesia, level temanya dinaikkan beberapa centi,
“mencari ilmu”. Hari inipun kembali ada yang membuatku terkejut, peserta yang
ngantuk dipanggil keluar dan dihukum “cukup” berat. Hell hell hell….kita ini
tadi lunchnya kangkung broo..ya mbok ditoleransi sedikit lah kalo ngantuk
ngantuk nungkluk,unless kita tidur pules sambil ngorok baru deh kalian hajar.
Dan yupz! Sedikit banyak aku semakin paham bagaimana sulitnya kehidupan
ber”muhadloroh”.
Hari
ketiga, harinya bahasa indonesia. Wah pokoknya ini adalah yang paling mudah deh
dibanding dua hari yang lain, bahasa indonesia lebih mudah dipahami para
audience dibanding bahasa arab atau inggris. Aku merasa aman saja menjadi
audience, duduk tenang menonton para orator belajar bicara. Mendingan
lah…petaka terjadi begitu pemeriksaan kerapihan dilakukan. Oh damn! Aku gak
pake kaus kaki nih, itu adalah satu celah! Selain menghukum para orator
pelanggar, mudabbir juga berkuasa mengurus para audience tak berkaus kaki,
berikat pinggang, bahkan yang kemejanya bertangan pendek! Sial benar aku saat
itu, Para pelanggarpun dibariskan sedemikian rupa. Dihukum dengan hukuman berat
yang sifatnya berjama’ah. Dan semua menjadi kentara mengapa muhadloroh adalah
momok menakutkan bagi para santri lama. Dengan peraturan yang bejibun begitu,
mudabbir akan selalu punya acara di luar ruangan bersama orang-orang yang lalai
akan aturan.
Kebiasaan
menghukum seperti ini memiliki dua sisi koin yang berbeda, bergantung kacamata
apa yang kita pakai, bergantung dari sudut mana kita melihat. Menjadi luar
biasa bagi mereka yang ingin “berkembang” dan buruk bagi mereka yang menolak melakukanya.
basically, Muhadloroh itu sistem pendidikan yang
fantastis! Konsep muhadloroh adalah pembiasaan menggunakan bahasa asing secara
monolog. Pepatah yang di patah patahin (ngek ngok!) bilang :
Language is not
science, language is habitual.
Tidak peduli dimanapun,bahasa pastilah terbagi dua dalam
penggunaanya, bahasa formal dan bahasa informal,bahasa baku dan bahasa tak
baku. Muhadloroh adalah ajang membiasakan berbahasa baku. Dan ini adalah cara
paling efektif untuk membiasakan seseorang berbahasa dengan baik dan benar.
Menyiapkan teks sebaik mungkin merupakan satu langkah untuk mencapai penggunaan
bahasa yang baik. Tidak pernah dalam muhadloroh seseorang dibatasi untuk
menggunakan bahasa baku, tapi bisa berbicara dengan lancar menggunakan bahasa
baku merupakan nilai tersendiri bagi mereka yang ingin beajar bahasa asing.
Ketika kursus-kursus bahasa dibuat, ketika training-training bahasa digalakkan,
tanpa pembiasaan, semuanya akan berakhir di kertas dan layar. Dalam kasus
paling ekstrem, hanya bisa membuat kita mengerti nonton film tanpa subtitle (ngomong opo tho le??). Tentu saja,
kemampuan berbicara inilah yang seharusnya dilatih dengan baik. Ambil
perumpamaan seorang asli jawa yang tinggal di daerah sunda, pada akhirnya tanpa
mempelajari secara konstektual, bahasa sunda yang sering didengar akan
membuatnya mengerti bahasa sunda, tapi jika sudah ikut berbicara bahasa sunda,
pastilah akan semakin mengerti dengan baik cara berbahasa sunda. Apa saja yang
membuat muhadloroh menjadi istimewa?. muhadloroh mencakup berbagai hal :
1. Pembiasaan berbahasa bagi mereka yang serius
melakukanya.
2. ajang belajar berbicara di depan umum bagi
mereka yang kesulitan tampil apalagi berbicara didepan umum.
3. Buat santri yang kebagian jatah orasi/ceramah/
speech lebih baik lagi untuk menyiapkan konten pidato dengan tangan sendiri.
Meningkatkan kemampuan mengarang.bahkan dalam tahap yang “mengerikan” bisa
terbiasa menganalisa suatu kejadian untuk dijadikan bahan perbincangan.
Kepercayaan diri, kemampuan menangani tatapan penonton, cara menarik
perhatian mereka yang mengabaikan, itu semua bukanlah sesuatu yang didapat
secara instan. Muhadloroh menjadi jawaban sebagai wadah mengasah bahasa,
membentuk mental baja, berani untuk maju ke depan dan bicara lantang
menyuarakan pendapatnya (this would be a highest level). Menjadi pintar bukan
berarti otomatis bisa menjadi pembicara yang baik, pendapat yang baik belum
tentu bisa disampaikan dengan baik tanpa adanya keberanian yang cukup untuk
berdiri di depan orang lain.
Sayangnya muhadloroh di pandang sebelah mata selama pelaksanaanya.
Bagi mereka yang menolak bangkit, muhadloroh bermanifestasi (ilmiah dikit boleh
dongs.. :3) menjadi momok menakutkan. Ketegasan akan peraturan memiliki sisi
koin berkebalikan. Banyak yang memilih “mendadak sakit” di hari muhadloroh
untuk menghindar. Menyerah BAHKAN sebelum mencoba. tentu saja, muhadloroh
bukanlah satu-satunya cara menjadi pembicara handal. Orang-orang dengan bakat
alami mudah beradaptasi dan tumbuh sebagai pembicara handal di depan umum. Tapi
dalam konteks “belajar” bahasa asing, dalam hal menguasai bahasa asing,
muhadloroh merupakan solusi yang cerdas untuk mengembangkan diri.
Muhadloroh is
indeed a revolution, satu pembelajaran bahasa dan mental paling aplikatif. Hal
ini hanya bisa terwujud jika saja santri, berangkat ke firqoh dengan semangat
mengembangkan diri, excited saat hari adanya muhadloroh tiba, menikmati keadaan
tak nyamanya untuk menyiapkan teks pidato, dan tak merasa disulitkan untuk
mengekspresikan diri. Dan semua itu tidak akan tercipta selama mindset kerdil
masih tersisa di kepala. Karena hal itulah yang bisa membentuk santri lebih
aktif dan bergerak lebih di ekstrakulikuler ini, mengubah kacamata yang
dipakai, bukan memandangnya sebagai rutinitas untuk dijalankan, tapi kesempatan
untuk mengembangkan kemampuan dan pola pikir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar