Kamis, 31 Juli 2014

Muhadloroh dan Pondok Pesantren



This just a little story about the most awesome extracurricular in ma'had. pemahamanku akan ekstrakulikuler paling dihindari para santri, dulu saat aku hidup di antara para pelaku sejarah lainya.

Satu hal yang sangat kuingat di masa-masa itu, Muhadloroh adalah ekstrakulikuler fardhu muakkad pertama yang kami jalani di pesantren. Dengan status newbie yang mentereng di wajah kami yang polos polos tanpa dosa, kami diperkenalkan dengan ekstrakulikuler paling ditakuti sejagad pesantren. No hard feelings, karena memang muhadloroh ini dalam skala serius 1-100, nilainya 99. Sistemnya adalah para santri diwajibkan membuat teks pidato dan menghapalkanya lalu belajar berpidato di depan santri lain dalam satu firqoh (kelompok) yang terdiri dari siswa kelas 1 hingga kelas 3.
Dimana bagian seriusnya?? merata sob! Ga bikin teks pidato? ada hukumanya.

ga hapal teks pidato?? punishmentnya udah disiapin!. 

Nervous dan ancur-ancuran waktu pidato. Just prepare yourself man...! :-3

Tapi bagian terburuknya bukan disitu. .the worst part is that "we have to come!!" Seperti yang sudah kusebutkan, fardhu muakkad! Dan ga ada istilah lain. satu-satunya kalimat yang dikenal para pengurus hanyalah “sakit” (kalimat ini memegang saham 35% dalam nilai “1” pengecualian dari skala keseriusan muhadloroh sob!). Di luar itu semua penghuni pondok pesantren yang berjulukan santri WAJABA ALAIHIM hadir di firqohnya masing-masing. Belum….masih belum kuceritakan mengapa muhadloroh menjadi the most frightening ekstrakulikuler in this college. at least that’s the impression guys, ketika hari muhadloroh ada, datang.

                  Hari pertama ikut muhadloroh aku sudah terkejut. Beberapa senior kelas 3 dihukum berat berkat tindakanya tidak membuat teks pidato, meskipun mereka berpidato dengan baik sekalipun. Yupz! That’s one. Pelanggaran adalah pelanggaran. Disiplin ditegakkan dengan tongkat besi disini, tertiup angin ia tak goyang, gempa besar ia tak roboh,  disambar petirpun ia hanya menghantarkan efeknya, tetap berdiri kokoh.

                  Hari kedua aku dapat jatah pidato. Sebagai anak baru yang masih bau kencur kue cucur, level pidato yang dibawakan bisa dengan judul mudah, “in the class/fi fasli (for arabian language)”. Kecuali untuk bahasa indonesia, level temanya dinaikkan beberapa centi, “mencari ilmu”. Hari inipun kembali ada yang membuatku terkejut, peserta yang ngantuk dipanggil keluar dan dihukum “cukup” berat. Hell hell hell….kita ini tadi lunchnya kangkung broo..ya mbok ditoleransi sedikit lah kalo ngantuk ngantuk nungkluk,unless kita tidur pules sambil ngorok baru deh kalian hajar. Dan yupz! Sedikit banyak aku semakin paham bagaimana sulitnya kehidupan ber”muhadloroh”.

                  Hari ketiga, harinya bahasa indonesia. Wah pokoknya ini adalah yang paling mudah deh dibanding dua hari yang lain, bahasa indonesia lebih mudah dipahami para audience dibanding bahasa arab atau inggris. Aku merasa aman saja menjadi audience, duduk tenang menonton para orator belajar bicara. Mendingan lah…petaka terjadi begitu pemeriksaan kerapihan dilakukan. Oh damn! Aku gak pake kaus kaki nih, itu adalah satu celah! Selain menghukum para orator pelanggar, mudabbir juga berkuasa mengurus para audience tak berkaus kaki, berikat pinggang, bahkan yang kemejanya bertangan pendek! Sial benar aku saat itu, Para pelanggarpun dibariskan sedemikian rupa. Dihukum dengan hukuman berat yang sifatnya berjama’ah. Dan semua menjadi kentara mengapa muhadloroh adalah momok menakutkan bagi para santri lama. Dengan peraturan yang bejibun begitu, mudabbir akan selalu punya acara di luar ruangan bersama orang-orang yang lalai akan aturan.

Kebiasaan menghukum seperti ini memiliki dua sisi koin yang berbeda, bergantung kacamata apa yang kita pakai, bergantung dari sudut mana kita melihat. Menjadi luar biasa bagi mereka yang ingin “berkembang” dan buruk bagi mereka yang menolak melakukanya. basically, Muhadloroh itu sistem pendidikan yang fantastis! Konsep muhadloroh adalah pembiasaan menggunakan bahasa asing secara monolog. Pepatah yang di patah patahin (ngek ngok!) bilang :
Language is not science, language is habitual.

Tidak peduli dimanapun,bahasa pastilah terbagi dua dalam penggunaanya, bahasa formal dan bahasa informal,bahasa baku dan bahasa tak baku. Muhadloroh adalah ajang membiasakan berbahasa baku. Dan ini adalah cara paling efektif untuk membiasakan seseorang berbahasa dengan baik dan benar. Menyiapkan teks sebaik mungkin merupakan satu langkah untuk mencapai penggunaan bahasa yang baik. Tidak pernah dalam muhadloroh seseorang dibatasi untuk menggunakan bahasa baku, tapi bisa berbicara dengan lancar menggunakan bahasa baku merupakan nilai tersendiri bagi mereka yang ingin beajar bahasa asing. Ketika kursus-kursus bahasa dibuat, ketika training-training bahasa digalakkan, tanpa pembiasaan, semuanya akan berakhir di kertas dan layar. Dalam kasus paling ekstrem, hanya bisa membuat kita mengerti nonton film tanpa subtitle (ngomong opo tho le??). Tentu saja, kemampuan berbicara inilah yang seharusnya dilatih dengan baik. Ambil perumpamaan seorang asli jawa yang tinggal di daerah sunda, pada akhirnya tanpa mempelajari secara konstektual, bahasa sunda yang sering didengar akan membuatnya mengerti bahasa sunda, tapi jika sudah ikut berbicara bahasa sunda, pastilah akan semakin mengerti dengan baik cara berbahasa sunda. Apa saja yang membuat muhadloroh menjadi istimewa?. muhadloroh mencakup berbagai hal :

1.       Pembiasaan berbahasa bagi mereka yang serius melakukanya.

2.       ajang belajar berbicara di depan umum bagi mereka yang kesulitan tampil apalagi berbicara didepan umum.

3.       Buat santri yang kebagian jatah orasi/ceramah/ speech lebih baik lagi untuk menyiapkan konten pidato dengan tangan sendiri. Meningkatkan kemampuan mengarang.bahkan dalam tahap yang “mengerikan” bisa terbiasa menganalisa suatu kejadian untuk dijadikan bahan perbincangan.

Kepercayaan diri, kemampuan menangani tatapan penonton, cara menarik perhatian mereka yang mengabaikan, itu semua bukanlah sesuatu yang didapat secara instan. Muhadloroh menjadi jawaban sebagai wadah mengasah bahasa, membentuk mental baja, berani untuk maju ke depan dan bicara lantang menyuarakan pendapatnya (this would be a highest level). Menjadi pintar bukan berarti otomatis bisa menjadi pembicara yang baik, pendapat yang baik belum tentu bisa disampaikan dengan baik tanpa adanya keberanian yang cukup untuk berdiri di depan orang lain.

Sayangnya muhadloroh di pandang sebelah mata selama pelaksanaanya. Bagi mereka yang menolak bangkit, muhadloroh bermanifestasi (ilmiah dikit boleh dongs.. :3) menjadi momok menakutkan. Ketegasan akan peraturan memiliki sisi koin berkebalikan. Banyak yang memilih “mendadak sakit” di hari muhadloroh untuk menghindar. Menyerah BAHKAN sebelum mencoba. tentu saja, muhadloroh bukanlah satu-satunya cara menjadi pembicara handal. Orang-orang dengan bakat alami mudah beradaptasi dan tumbuh sebagai pembicara handal di depan umum. Tapi dalam konteks “belajar” bahasa asing, dalam hal menguasai bahasa asing, muhadloroh merupakan solusi yang cerdas untuk mengembangkan diri.

Muhadloroh is indeed a revolution, satu pembelajaran bahasa dan mental paling aplikatif. Hal ini hanya bisa terwujud jika saja santri, berangkat ke firqoh dengan semangat mengembangkan diri, excited saat hari adanya muhadloroh tiba, menikmati keadaan tak nyamanya untuk menyiapkan teks pidato, dan tak merasa disulitkan untuk mengekspresikan diri. Dan semua itu tidak akan tercipta selama mindset kerdil masih tersisa di kepala. Karena hal itulah yang bisa membentuk santri lebih aktif dan bergerak lebih di ekstrakulikuler ini, mengubah kacamata yang dipakai, bukan memandangnya sebagai rutinitas untuk dijalankan, tapi kesempatan untuk mengembangkan kemampuan dan pola pikir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar