BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kitab
Ta’lim al-Muta’allim merupakan kitab yang sering dijadikan pedoman oleh
pondok pesantren untuk memberikan pengetahuan dasar tentang
metode-metode menuntut ilmu dan hal-hal yang berhubungan dengannya.
Kitab
Ta’lim al-Muta’llim ini diduga sebagai salah satu penyebab kemunduran
dan kelesuan yang terjadi dikalangan pondok pesantren. Hal ini ditandai
dengan tidak bebasnya cara berpikir santri
Dan terkekangnya daya
kritisme santri. Hal itu diduga disebabkan oleh mengakarnya
ajaran-ajaran dari kitab ini pada diri seorang santri.
Melihat fenomena ini, penulis tertarik untuk menulis karya ilmiah yang berkenaan dengan permasalahan yang diatas.
1.2 Perumusan Masalah
Dari
permasalahan-permasalahan di atas, penulis membuat rumusan-rumusan
masalah yaitu untuk memudahkan pokok pembahasan pada karya ilmiah ini.
Yaitu antara lain :
1. Apa pengertian dari kitab Ta’lim al-Muta’allim ?
2. Apa pengertian dari kebebasan pola berpikir santri ?
3. Apa dampak negatif kitab Ta’lim al-Muta’allim terhadap kebebasan pola berpikir santri ?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah :
1. Mengetahui pengertian dari kitab Ta’lim al-Muta’alim.
2. Mengetahui pengertian dari kebebasan pola berpikir santri.
3. Mengetahui dampak negatif kitab Ta’lim al-Muta’allim terhadap kebebasan pola berpikir santri.
1.4 Metode Penulisan
Metode
penulisan pada pembuatan Karya Ilmiah ini adalah dengan menggunakan
metode studi pustaka yang bersumber dari buku-buku perpustakaan dan
internet.
BAB II
SISTEMATIKA PENULISAN
Pada
Karya Ilmiah ini penulis membuat sistematika penulisan untuk membatasi
pembahasan yang melebar dan supaya karya tulis ini tersusun rapi secara
sistematis. Adapun sistematika penulisan Karya Ilmiah ini adalah sebagai
berikut :
Bab I pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, dan metode penulisan.
Bab II sistematika penulisan.
Bab III tinjauan pustaka, yaitu landasan teori tentang kitab Ta’lim al-Muta’allim dan kebebasan pola berpikir santri.
Bab IV dampak negatif kitab Ta’lim al-Muta’allim terhadap kebebasan pola berpikir santri.
Bab V penutup, yaitu berisi kesimpulan dan saran-saran.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Pengertian Kitab Ta’lim al-Muta’allim
Kitab
berasal dari Bahasa Arab kataba-yaktubu-kitaaban yang bermakna buku ,
sedangkan Ta’lim al-Muta’allim yang berjudul lengkap Ta’lim
al-Muta’allim Thariq al-Ta’allum yang bermakna pelajaran bagi pelajar
(penuntut ilmu) akan jalannya belajar. Dalam manuskrip asli, ditemukan
judul kitab ini sedikit berbeda redaksi, yaitu Ta’lim al-Muta’allim fi
Thariq al-Ta’allum (ajaran bagi pelajar tentang jalan belajar) .
Kitab
Ta’lim al-Muta’allim yaitu sebuah kitab yang banyak dijadikan pedoman
Pondok-Pondok Pesantren untuk memberikan pengetahuan dasar tentang
metode pendidikan dan pengajaran. Bahkan beberapa pesantren
menempatkannya sebagai kitab wajib yang diajarkan setiap tahunnya.
3.1.1 Pengarang Kitab Ta’lim al-Muta’allim
Pengarang
kitab Ta’lim al-Muta’allim ini masih belum jelas, tak banyak informasi
dan literatur yang bisa kita temukan. Ini disebabkan tidak menonjolnya
pengarang dalam dunia peradaban islam dan kurang produktifnya dalam
menulis. di Indonesia sendiri kitab dengan pengarang yang sama dengan
pengarang kitab Ta’lim al-Muta’allim tidak ditemukan. Panggilan untuk
pengarang kitab Ta’lim al-Muta’allim kita ketahui dari kitab itu sendiri
yaitu Syaikh Az-Zarnuji. Zarnuji diduga berasal dari nama daerah
pengarang yaitu kota Zarnuj yang sekarang berada di wilayah Afganistan.
Didalam
kitab Ta’lim al-Muta’allim sendiri diterangkan bahwa Syaikh Az-Zarnuji
belajar kepada para ‘ulama besar waktu itu, antara lain :
a.
Burhanuddin Ali bin Abu Bakar Al Marghinani, ulama besar bermadzhab
Hanafi yang mengarang kitab Al-Hidayah, suatu kitab fiqih rujukan utama
dalam madzhabnya. Beliau wafat tahun 593 H/1197 M.
b. Ruknul Islam
Muhammad bin Abu Bakar, populer dengan gelar Khowahir Zaedah atau Imam
Zaedah. Beliau ulama besar ahli fiqih madzhab Hanafi, pujangga sekaligus
penyair, pernah menjadi mufti di Bochara dan sangat masyhur
fatwa-fatwanya. Wafat tahun 573 H/ 1177 M.
c. Syaikh Hammad bin Ibrahim, seorang ulama ahli fiqih bermadzhab Hanafi, sastrawan dan ahli kalam. Wafat tahun 576 H/1180 M.
d.
Syaikh Fakhruddin Al-Kasyani, yaitu Abu Bakar bin Mas’ud Al-Kasyani,
ulama ahli fiqih bermadzhab Hanafi, pengarang kitab Bada-i’us Shana-i’.
wafat tahun 587 H/1191 M.
e. Syaikh Fakhruddin Qadli Khan
Al-Ouzjandi, ulama besar yang dikenal sebagai mujtahid dalam madzhab
Hanafi, dan banyak kitab karangannya. Beliau wafat tahun 592 H/1196 M.
f.
Ruknuddin Al-Farghani yang digelari Al-Adib Al-Mukhtar (sastrawan
pujangga pilihan), seorang ulama ahli fiqih bermadzhab Hanafi, pujangga
sekaligus penyair. Wafat tahun 594 H/1198 M.
3.1.2 Isi Kitab Ta’lim al-Muta’allim
Isi
kitab Ta’lim al-Muta’allim berisi tentang metode-metode pendidikan dan
pengajaran. Dalam penulisan kitab ini Syaikh Az-Zarnuji menggunakan
fashl (pasal), terdiri dari 13 pasal yaitu :
a. Pasal 1 : tentang pengertian ilmu, fiqih, dan keutamaannya.
b. Pasal 2 : tentang niat dalam belajar.
c. Pasal 3 : tentang memilih ilmu, guru, teman, dan tentang ketabahan.
d. Pasal 4 : tentang penghormatan terhadap ilmu dan ulama.
e. Pasal 5 : tentang ketekunan, kontinuitas, dan minat.
f. Pasal 6 : tentang permulaan belajar, faedah belajar, dan urutan ilmu yang
dipelajari.
g. Pasal 7 : tentang tawakkal kepada Allah.
h. Pasal 8 : tentang waktu belajar.
i. Pasal 9 : tentang kasih sayang dan nasihat.
j. Pasal 10 : tentang cara mencari faedah.
k. Pasal 11 : tentang waro’ ketika belajar.
l. Pasal 12 : tentang penyebab hafal dan lupa.
m. Pasal 13 : tentang sumber rizki, penambah dan pemotong usia.
3.1.3 Sejarah Kitab Ta’lim al- Muta’allim
Pertama
kali diketahui, naskah kitab ini dicetak di Jerman tahun 1709 M oleh
Randalus, di Labsak tahun 1838 M oleh kaspari dengan tambahan
mukaddimah oleh Plessner, di Marsadabad tahun1265 M, di Qazan tahun 1898
M menjadi 32 halaman , dan tahun 1901 M menjadi 32 halaman dengan
tambahan sedikit penjelasan atau syarah dibagian belakang, di Tunisia
Astanah menjadi tahun 1307 H menjadi 52 halaman, dan juga tahun 1311 H .
dalam bentuk naskah berharakat.
Masuknya kitab Ta’lim
al-Muta’allim ke Indonesia belum diketahui secara pasti, diasumsikan
kitab ini dibawa oleh para Wali Songo, maka kitab ini telah diajarkan di
Indonesia mulai abad 14 masehi. Tapi jika diasumsikan bahwa kitab ini
masuk bersama periode kitab-kitab karangan Imam Nawawi Banten, maka
Ta’lim al-Muta’allim baru masuk ke Indonesia pada abad ke -19 Masehi.
Jika diasumsikan pada madzhab, dimana kaum muslimin Indonesia mayoritas
bermadzhab Syafi’I sedangkan kitab ini bermadzhab Hanafi, maka kitab itu
masuk ke Indonesia lebih belakang lagi.
3.2 Pengertian Kebebasan Pola Berpikir Santri
Kebebasan
dalam kamus besar bahasa Indonesia yaitu berarti dalam keadaan bebas
artinya merdeka dalam berpikir, mengeluarkan pendapat dan bertindak,
tanpa ada tekanan serta paksaan dari luar. Sedangkan pola menurut
etimologi yaitu gambar atau sketsa, berpikir yaitu kemampuan manusia
memanfaatkan potensi otaknya (cerebuml cortex, limbic, thalamus,
hypothalamus, amygada, dan hippocampus), untuk melihat, merumuskan,
memilah, dan memecahkan masalah . Jadi, kebebasan pola berpikir yaitu
sketsa pemikiran, gambaran dalam melihat, merumuskan, memilah, dan
memecahkan masalah
3.2.1 Arti Santri
Santri menurut bahasa yaitu perubahan dari kata bahasa India shastri yang berarti orang yang tahu kitab-kitab suci (hindu) .
Dalam
terminologi Clifford Geerts perkataan santri mempunyai arti luas dan
sempit, dalam arti sempit, santri santri adalah seorang murid satu
sekolah agama yang disebut pondok atau pesantren, sedangkan dalam arti
luas santri adalah bagian dari penduduk Jawa yang memeluk islam secara
benar-benar, bersembahyang, pergi ke masjid pada hari Jum’at dan
seterusnya.
Sedangkan menurut penulis sendiri, santri yaitu
seorang pelajar (penuntut ilmu) yang sedang menuntut ilmu dengan tinggal
pada sebuah pondok atau pesantren.
3.2.2 faktor-faktor yang mempengaruhi pola berpikir santri
a. Al-Qur’an
Al-Qur’an
mempengaruhi sekali pola pikir santri, sebagai pedoman dan sumber-utama
Islam, Al-Qur’an adalah pelajaran paling pokok yang diajarkan di
pesantren. Pengajaran Al-Qur’an meliputi bagaimana membacanya dan
memahaminya. Al-qur’an sebagai sumber hukum dan pedoman umat islam,
harus difahami dan diamalkan oleh santri sehingga membentuk pola pikir
dan pola hidup santri.
b. Al-Hadits
Al-hadits
adalah segala ucapan, perbuatan, dan persetujuan rasulullah mengenai
hukum atau masalah, Hadits adalah pelajaran pokok di pesantren setelah
Al-Qur’an, karena Hadits adalah penjabaran yang ada di al-qur’an
mengenai semua yang ada di Al-qur’an, dan karena Hadits bersumber dari
Rasulullah dan Rasul adalah sumber suri tauladan yang semua perbuatan
dan ucapannya adalah berdasarkan Al-qur’an, maka hadits ini membentuk
pola pikir Santri.
c. kitab
selain
Al-Qur’an dan Al-Hadits pondok pesantren juga mengajarkan kitab-kitab
sebagai sumber ilmu. Kitab yang dipelajari yaitu ada dua macam yaitu :
kitab kuning dan kitab modern, kitab kuning terbuat dari bahan kertas
yang murah dan berwarna kuning dan tidak bersyakal atau gundul,
sedangkan kitab modern terbuat dari bahan kertas yang bagus dan biasanya
sudah mempunyai syakal. Kitab sebagai sumber pengetahuan para santri
sangat berpengaruh pada pola pikir santri.
d. Ustadz atau Kiyai
Ustadz
atau Kiyai adalah orang tua kedua setelah orang tua yang berdasarkan
keturunan karena ustadz dan kiyai yang mendidik dan mengajar para
santri, mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali. Semua tingkah laku
ustadz dan kiyai dilihat dan diikuti oleh para santri sehingga
membentuk pola pikir dan pola hidup santri.
BAB IV
DAMPAK NEGATIF KITAB TA’LIM AL-MUTA’ALLIM TERHADAP KEBEBASAN POLA BERPIKIR SANTRI
4.1 Proteksi Berlebihan Terhadap Ilmu
Salah
satu dampak negatif kitab ta’lim al-muta’allim terhadap kebebasan pola
berpikir santri yaitu seorang santri sangat anti terhadap ilmu modern
atau ilmu yanng datang setelah masa nabi muhammad s.a.w, para sahabat,
tabi’in, seta tabi’ tabi’in. adalah sesuatu yang sangat berlebihan bila
mengikuti anjuran syaikh zarnuji unutk hanya mempelajari ilmu yang
ditinggalkan oleh rasul, sahabat, tabi’in, serta tabi’ tabi’in. dan
meninggalkan cabang-cabang ilmu yang datang setelahnya, hal ini terdapat
pada pasal 3 tentang memilih guru, teman, dan tentang ketabahan :
“dan
hendaklah memilih ilmu kuno, bukan lmu yang baru, para ulama berkata :
“tekunilah ilmu yang kuno dan jauhilah ilmu yang baru”.
Dalam
kutipan diatas seakan kita tidak mengakui adanya proses seleksi alam
yang telah menjadi sunnatullah yang apabila tidak mengikutinya akan
ditinggalkannya, dari sini bisa dilihat cara berpikir syaikh zarnuji
dengan keyakinannya bhawa masa-masa terbaik yaitu pada masa awal islam.
Padahal perjalanan islam selama ini justru terus menuj perbaikan mengacu
pada ilmu-ilmu yang datang setelahnya dengan tidak menfikan segala
kekurangan yang ada.
Dalam kitab ini pengarang juga lebih
mengunggulkan atu memperioritaskan ilmu dan ahli fiqih, banyak
keterangan-keterangan yang terdapat dalam kitab ini, salah satunya pada
pasal 1 tentang pengertian ilmu, fiqih, dan keutamaanya :
“ketahuilah,
bahwa tidak diharuskan bagi stiap muslim untuk menuntut semua ilmu,
tetapi yang diharuskan adalah meenuntut ilmu hal, sebagaiman dinyatakan
“ilmu paling utama adalah ilmu hal dan perbuatan yang paling utama
adalah memelihara hal”.
Yang dimaksud ilmu hal adalah
ilmu penegetahuan yang selalu diperlukan dalam melaksanakan agama, yaitu
ilmu ushuludin dan fiqih. Dua macam ilmu ini tidak dapat diabaikan oleh
setiap muslim, karena ilmu yang pertama akan membimbing kehidupan iman
dan ruhaninya, sedang yang kedua akan membimbing perbuatan jasmani dalam
menunaikan tugas agamanya . Dari keterangan diatas memunculkan
pandangan bahwa ilmu yang wajib dipelajari hanya ilmu yang berkenaan
dengan agama khususnya ilmu fiqih. Pada kutipan yang lain pada pasal
yang sama yaitu :
“……belajarlah fiqih, dialah panglima
unggulan menuju kebaikan dan taqwa dan dialah adilnya adil. Ia ilmu
petunjuk ke jalan hidayah, ia benteng penyelamat dari segala bencana,
seorang faqih wiro’i, sungguh lebih berat setan menggodanya daripada
‘abid seribu”.
4.2 Hilangnya Daya Kritisme
Dalam
isi kitab ini banyak sekali yang memasung daya kritisme santri,
sehingga didalam pesantren jarang sekali terlihat adanya
aktifitas-aktifitas diskusi ilmiah yang dilakukan santri, tidak adanya
perdebatan-perdebatan dan perbedaan pendapat, yang ada hany sistem
pendidikan konvensional, kiyai membaca kitabnya, sementara santri patuh
dengan menundukan mata, hati, dan pikirannya atas seluruh pendapat
gurunya (kiyainya) tanpa menanyakan alasan dari setiapkata dan keputusan
gurunya itu. Seperti dalam pasal 3 tentang memilih, guru, teman, dan
tentang ketabahan :
“waspadalah, jangan terperangkap
dalam ilmu perdebatan yang tumbuh subur setelah habisnya para ulama
besar, karena ilmu tersebut akan menjauhkan pelajar dari fiqih,
membuang-buang umur dan melahirkan sifat buas serta permusuhan”.
Dalam
pernyataan diatas, menerangkan bahwa ilmu perdebatan harus diwaspadai
dan dihindari, ilmu perdebatan disini yaitu ilmu mantiq dan filsafat,
dengannya kita mampu memahami islam secara rasional bukan hanya
keyakinan yang tak berdasar pada proses pencarian atau olah pikir,
mengikuti al-qur’an dan sunnah tanpa adanya proses tela’ah dan analisa.
Pada pasal 6 tentang permulaan belajar, kapasitas belajar, dan tata
tertib belajar :
“……lain halnya ahli dholalah (pengikut
kesesatan), mereka membanggakan logika dan akal, mencari kebenaran dari
makhluk yang lemah yaitu akal, sebagaimana mata, tidak mampu meng-cover
segala sesuatu secara menyeluruh, maka mereka tertutup dan tidak dapat
mengetahui kebenaran, akhirnya tersesat dan menyeatkan”.
Dari
kutipan diatas begitu jelas bahwa orang yang menggunakan logika dan
akal untuk berpikir mencari kebenaran dianggap sebagai seseorang yang
sesat. Paahal banyak sekali ayat Al-Qur’an yang memerintahkan kekpada
manusia unutk berpikir dan menggunakan akalnya. Hal ini membuat para
santri menjauhi logika dan akal, mereka hanya tunduk dan patuh atas
semua pendapat guru atau kiyai. Sudah menjadi pemahaman yang jelas bahwa
suatu keyakinan adalah setekah kita memehami, sehingga keyakinan
tertanam kuat karena seuai dengan logika dan pemahaman. Allah S.W.T
tidak akan memerintahkan dan membebani sesuatu jika manusia tidak bisa
memahaminya dan memikulnya. Adapun kekhawatiran syaikh zarnuji
menjauhnya umat dari agama dan banyaknya pertentangan dalam pemahaman
terhadapnya adalah suatu yang tidak mendasar, karena dengan itu semua
islam menjadi lebih berwarna, hingga umat bis memilih sendiri apa yang
terbaik untuknya, sehingga islam menjadi rahmah lil al-alamin.
4.3 Menjadikan Fanatik Kepada Ustadz (Guru) atau Kiyai dan statemennya
Pada pasal 4 tentang penghormatan terhadap ilmu dan ulama :
“tiada
keberhasilan seseorang dalam mencapai sesuatu kecuali dengan
menghormatinya, tiada kegagalan selain karena tidak mau menghormatinya”.
Dalam
pernyataan diatas, diterangkan dimana seorang murid tidak akan
mendapatkan ilmu dari apa yang telah dipelajarinya kecuali dengan ras
hormat terhadap ilmu dan guru yang mengajarkannya. Anjuran tersebut
memang tidak ada salahnya, hanya saja dalam metode penyampaiannya yang
sangat membahayakan bagi para pembaca (khususnya:santri). Bagaimanakah
seseorang dengan menghormati guru bisa mendapatkan ilmu bermanfaat tanpa
adanya proses pembelajaran, bermanfaat atau tidaknya suatu ilmu
bergantung pada si murid sendiri, bisa mengamalkannya atau
memanfaatkannya atau tidak. Hal ini akan berakibat juga pada hilangnya
daya kritisme santri. Masih pada pasal 4 tentang penghormatan ilmu dan
ulama :
“Diantara perbuatan menghormati guru adalah
tidak melintas dihadapannya, tidak menduduki tempat duduknya, tidak
memulai pembicaran kecuali atas izinnya, tidak banyak bicara
disebelahnya dan tidak menanyakan sesuatu yang membosankannya, hendaklah
pula mengambil waktu yang tepat dan jangan pernah mengetuk pintu tetapi
bersabarlah ampai beliau keluar”.
Posisi guru seakan
adalah penentu utama bagi keberlangsungan pembelajaran si murid dan masa
depannya, mengusung sistem belajar pasif , karena guru adalah penentu
utama, hak guru dalam mengatur murid hingga pada hal yang sangat
spesifik. Masih pada pasal 4 juga :
“dianjurkan kepada
penuntut ilmu agar tidak memilih sendiri bidang studinya, tetapi
menyerahkan hal itu semua pada guru, demikianlah karena guru telah
sering melakukan uji coba sehingga lebih tahu tentang apa yang terbaik
untuk seseorang dan ssuai dengan bakatnya”.
Sikap
pasrah seorang murid untuk menentukan apa yang harus dipelajarinya. Itu
tentu tidak pas karena murid lebih tahu akan tabiat dirinya untuk
menentukan apa yang baik unutk dirinya. Hal yang lebih menyedihkan lagi
dari semua itu bahwa santri menganggap bahwa kiyai adalah orang suci
yang setiap kelakuannya adalah baik dan memberikan manfa’at seta barakah
sehingga sering kita melihat santri yang berebut untuk bersalaman,
berebut bekas minuman kiyai, meminta do’a dan barakah yang berlebihan.
Serta sering sekali para santri menerima statemen-statemen dari kiyai
yang isinya kurang tepat untuk dilaksanakan seperti pada saat seorang
santri bertanya tentang pelajaran kemudian kiyai menjawab: “ teruskan
saja belajarnya, nggak usah banyak tanya nanti juga ketemu sendiri
jawabannya.” Statemen ini akan menyebabkan seorang santri hilang daya
kritismenya, karena dia beranggapan bahwa seorang murid tidak
sepantasnya bertanya tentang kebenaran apa yang telah gurunya sampaikan.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari pembahasan karya ilmiah ini penulis mengambil beberapa kesimpulan antara lain yaitu :
1.
Pengertian kitab Ta’lim al-Muta’allim yaitu buku yang membahas tentang
pelajaran bagi penuntut ilmu akan jalannya belajar, kitab ini banyak
dijadikan pedoman pondok-pondok pesantren untuk memberiakan pengetahuan
dasar tentang metode pendidikan dan pengajaran.
2.Pengertian
kebebasan pola berpikir santri yaitu sketsa pemikiran seorang santri
dalam melihat, merumuskan, memilah, dan memecahkan masalah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pola berpikir santri yaitu: Al-Qur’an,
Al-Hadist, Kitab, dan Ustadz atau Kiyai.
3. Dampak negatif kitab
Ta’lim al-Muta’allim terhadap kebebasan pola berpikir santri yang
diketahui penulis yaitu: proteksi berlebihan terhadap ilmu, hilangnya
daya kritisme, fanatik kepada ustadz(guru) atau kiyai.
5.2 Saran
penulis
memberikan saran kepada intelektual dan para pelajar muslim untuk
menulis dan meneliti dampak positif kitab Ta’lim al-Muta’allim karena
banyak sekali dampak positif yang belum diketahui. sedangkan, para
intelektual non muslim gencar sekali meneliti dampak negatif dari kitab
ini.
Selain dampak negatif penulis juga menemukan sisi
positif yang terdapat pada kitab ini, seperti dalam kata-kata Imam Abu
Hanifah kepada rekan-rekan sahabatnya yang menjadi guru (dosen):”buatlah
besar seban-serbanmu, buat pula lebar akan lengan bajumu”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar