Kamis, 06 Juni 2013

Paper Muhammad Rian

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Kitab Ta’lim al-Muta’allim merupakan kitab yang sering dijadikan pedoman oleh pondok pesantren untuk memberikan pengetahuan dasar tentang metode-metode menuntut ilmu dan hal-hal yang berhubungan dengannya.
Kitab Ta’lim al-Muta’llim ini diduga sebagai salah satu penyebab kemunduran dan kelesuan yang terjadi dikalangan pondok pesantren. Hal ini ditandai dengan tidak bebasnya cara berpikir santri
Dan terkekangnya daya kritisme santri. Hal itu diduga disebabkan oleh mengakarnya ajaran-ajaran dari kitab ini pada diri seorang santri.
Melihat fenomena ini, penulis tertarik untuk menulis karya ilmiah yang berkenaan dengan permasalahan yang diatas.
1.2 Perumusan Masalah
Dari permasalahan-permasalahan di atas, penulis membuat rumusan-rumusan masalah yaitu untuk memudahkan pokok pembahasan pada karya ilmiah ini. Yaitu antara lain :
1. Apa pengertian dari kitab Ta’lim al-Muta’allim ?
2. Apa pengertian dari kebebasan pola berpikir santri ?
3. Apa dampak negatif kitab Ta’lim al-Muta’allim terhadap kebebasan pola berpikir santri ?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah :
1. Mengetahui pengertian dari kitab Ta’lim al-Muta’alim.
2. Mengetahui pengertian dari kebebasan pola berpikir santri.
3. Mengetahui dampak negatif kitab Ta’lim al-Muta’allim terhadap kebebasan pola berpikir santri.
1.4 Metode Penulisan
Metode penulisan pada pembuatan Karya Ilmiah ini adalah dengan menggunakan metode studi pustaka yang bersumber dari buku-buku perpustakaan dan internet.


BAB II
SISTEMATIKA PENULISAN

Pada Karya Ilmiah ini penulis membuat sistematika penulisan untuk membatasi pembahasan yang melebar dan supaya karya tulis ini tersusun rapi secara sistematis. Adapun sistematika penulisan Karya Ilmiah ini adalah sebagai berikut :
Bab I pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, dan metode penulisan.
Bab II sistematika penulisan.
Bab III tinjauan pustaka, yaitu landasan teori tentang kitab Ta’lim al-Muta’allim dan kebebasan pola berpikir santri.
Bab IV dampak negatif kitab Ta’lim al-Muta’allim terhadap kebebasan pola berpikir santri.
Bab V penutup, yaitu berisi kesimpulan dan saran-saran.

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Pengertian Kitab Ta’lim al-Muta’allim
Kitab berasal dari Bahasa Arab kataba-yaktubu-kitaaban yang bermakna buku , sedangkan Ta’lim al-Muta’allim yang berjudul lengkap Ta’lim al-Muta’allim Thariq al-Ta’allum yang bermakna pelajaran bagi pelajar (penuntut ilmu) akan jalannya belajar. Dalam manuskrip asli, ditemukan judul kitab ini sedikit berbeda redaksi, yaitu Ta’lim al-Muta’allim fi Thariq al-Ta’allum (ajaran bagi pelajar tentang jalan belajar) .
Kitab Ta’lim al-Muta’allim yaitu sebuah kitab yang banyak dijadikan pedoman Pondok-Pondok Pesantren untuk memberikan pengetahuan dasar tentang metode pendidikan dan pengajaran. Bahkan beberapa pesantren menempatkannya sebagai kitab wajib yang diajarkan setiap tahunnya.

3.1.1 Pengarang Kitab Ta’lim al-Muta’allim
Pengarang kitab Ta’lim al-Muta’allim ini masih belum jelas, tak banyak informasi dan literatur yang bisa kita temukan. Ini disebabkan tidak menonjolnya pengarang dalam dunia peradaban islam dan kurang produktifnya dalam menulis. di Indonesia sendiri kitab dengan pengarang yang sama dengan pengarang kitab Ta’lim al-Muta’allim tidak ditemukan. Panggilan untuk pengarang kitab Ta’lim al-Muta’allim kita ketahui dari kitab itu sendiri yaitu Syaikh Az-Zarnuji. Zarnuji diduga berasal dari nama daerah pengarang yaitu kota Zarnuj yang sekarang berada di wilayah Afganistan.
Didalam kitab Ta’lim al-Muta’allim sendiri diterangkan bahwa Syaikh Az-Zarnuji belajar kepada para ‘ulama besar waktu itu, antara lain :
a. Burhanuddin Ali bin Abu Bakar Al Marghinani, ulama besar bermadzhab Hanafi yang mengarang kitab Al-Hidayah, suatu kitab fiqih rujukan utama dalam madzhabnya. Beliau wafat tahun 593 H/1197 M.
b. Ruknul Islam Muhammad bin Abu Bakar, populer dengan gelar Khowahir Zaedah atau Imam Zaedah. Beliau ulama besar ahli fiqih madzhab Hanafi, pujangga sekaligus penyair, pernah menjadi mufti di Bochara dan sangat masyhur fatwa-fatwanya. Wafat tahun 573 H/ 1177 M.
c. Syaikh Hammad bin Ibrahim, seorang ulama ahli fiqih bermadzhab Hanafi, sastrawan dan ahli kalam. Wafat tahun 576 H/1180 M.
d. Syaikh Fakhruddin Al-Kasyani, yaitu Abu Bakar bin Mas’ud Al-Kasyani, ulama ahli fiqih bermadzhab Hanafi, pengarang kitab Bada-i’us Shana-i’. wafat tahun 587 H/1191 M.
e. Syaikh Fakhruddin Qadli Khan Al-Ouzjandi, ulama besar yang dikenal sebagai mujtahid dalam madzhab Hanafi, dan banyak kitab karangannya. Beliau wafat tahun 592 H/1196 M.
f. Ruknuddin Al-Farghani yang digelari Al-Adib Al-Mukhtar (sastrawan pujangga pilihan), seorang ulama ahli fiqih bermadzhab Hanafi, pujangga sekaligus penyair. Wafat tahun 594 H/1198 M.

3.1.2 Isi Kitab Ta’lim al-Muta’allim
Isi kitab Ta’lim al-Muta’allim berisi tentang metode-metode pendidikan dan pengajaran. Dalam penulisan kitab ini Syaikh Az-Zarnuji menggunakan fashl (pasal), terdiri dari 13 pasal yaitu :
a. Pasal 1 : tentang pengertian ilmu, fiqih, dan keutamaannya.
b. Pasal 2 : tentang niat dalam belajar.
c. Pasal 3 : tentang memilih ilmu, guru, teman, dan tentang ketabahan.
d. Pasal 4 : tentang penghormatan terhadap ilmu dan ulama.
e. Pasal 5 : tentang ketekunan, kontinuitas, dan minat.
f. Pasal 6 : tentang permulaan belajar, faedah belajar, dan urutan ilmu yang
dipelajari.
g. Pasal 7 : tentang tawakkal kepada Allah.
h. Pasal 8 : tentang waktu belajar.
i. Pasal 9 : tentang kasih sayang dan nasihat.
j. Pasal 10 : tentang cara mencari faedah.
k. Pasal 11 : tentang waro’ ketika belajar.
l. Pasal 12 : tentang penyebab hafal dan lupa.
m. Pasal 13 : tentang sumber rizki, penambah dan pemotong usia.


3.1.3 Sejarah Kitab Ta’lim al- Muta’allim
Pertama kali diketahui, naskah kitab ini dicetak di Jerman tahun 1709 M oleh Randalus, di Labsak tahun 1838 M oleh kaspari dengan tambahan mukaddimah oleh Plessner, di Marsadabad tahun1265 M, di Qazan tahun 1898 M menjadi 32 halaman , dan tahun 1901 M menjadi 32 halaman dengan tambahan sedikit penjelasan atau syarah dibagian belakang, di Tunisia Astanah menjadi tahun 1307 H menjadi 52 halaman, dan juga tahun 1311 H . dalam bentuk naskah berharakat.
Masuknya kitab Ta’lim al-Muta’allim ke Indonesia belum diketahui secara pasti, diasumsikan kitab ini dibawa oleh para Wali Songo, maka kitab ini telah diajarkan di Indonesia mulai abad 14 masehi. Tapi jika diasumsikan bahwa kitab ini masuk bersama periode kitab-kitab karangan Imam Nawawi Banten, maka Ta’lim al-Muta’allim baru masuk ke Indonesia pada abad ke -19 Masehi. Jika diasumsikan pada madzhab, dimana kaum muslimin Indonesia mayoritas bermadzhab Syafi’I sedangkan kitab ini bermadzhab Hanafi, maka kitab itu masuk ke Indonesia lebih belakang lagi.

3.2 Pengertian Kebebasan Pola Berpikir Santri
Kebebasan dalam kamus besar bahasa Indonesia yaitu berarti dalam keadaan bebas artinya merdeka dalam berpikir, mengeluarkan pendapat dan bertindak, tanpa ada tekanan serta paksaan dari luar. Sedangkan pola menurut etimologi yaitu gambar atau sketsa, berpikir yaitu kemampuan manusia memanfaatkan potensi otaknya (cerebuml cortex, limbic, thalamus, hypothalamus, amygada, dan hippocampus), untuk melihat, merumuskan, memilah, dan memecahkan masalah . Jadi, kebebasan pola berpikir yaitu sketsa pemikiran, gambaran dalam melihat, merumuskan, memilah, dan memecahkan masalah



3.2.1 Arti Santri
Santri menurut bahasa yaitu perubahan dari kata bahasa India shastri yang berarti orang yang tahu kitab-kitab suci (hindu) .
Dalam terminologi Clifford Geerts perkataan santri mempunyai arti luas dan sempit, dalam arti sempit, santri santri adalah seorang murid satu sekolah agama yang disebut pondok atau pesantren, sedangkan dalam arti luas santri adalah bagian dari penduduk Jawa yang memeluk islam secara benar-benar, bersembahyang, pergi ke masjid pada hari Jum’at dan seterusnya.
Sedangkan menurut penulis sendiri, santri yaitu seorang pelajar (penuntut ilmu) yang sedang menuntut ilmu dengan tinggal pada sebuah pondok atau pesantren.

3.2.2 faktor-faktor yang mempengaruhi pola berpikir santri
a. Al-Qur’an
Al-Qur’an mempengaruhi sekali pola pikir santri, sebagai pedoman dan sumber-utama Islam, Al-Qur’an adalah pelajaran paling pokok yang diajarkan di pesantren. Pengajaran Al-Qur’an meliputi bagaimana membacanya dan memahaminya. Al-qur’an sebagai sumber hukum dan pedoman umat islam, harus difahami dan diamalkan oleh santri sehingga membentuk pola pikir dan pola hidup santri.


b. Al-Hadits
Al-hadits adalah segala ucapan, perbuatan, dan persetujuan rasulullah mengenai hukum atau masalah, Hadits adalah pelajaran pokok di pesantren setelah Al-Qur’an, karena Hadits adalah penjabaran yang ada di al-qur’an mengenai semua yang ada di Al-qur’an, dan karena Hadits bersumber dari Rasulullah dan Rasul adalah sumber suri tauladan yang semua perbuatan dan ucapannya adalah berdasarkan Al-qur’an, maka hadits ini membentuk pola pikir Santri.



c. kitab
selain Al-Qur’an dan Al-Hadits pondok pesantren juga mengajarkan kitab-kitab sebagai sumber ilmu. Kitab yang dipelajari yaitu ada dua macam yaitu : kitab kuning dan kitab modern, kitab kuning terbuat dari bahan kertas yang murah dan berwarna kuning dan tidak bersyakal atau gundul, sedangkan kitab modern terbuat dari bahan kertas yang bagus dan biasanya sudah mempunyai syakal. Kitab sebagai sumber pengetahuan para santri sangat berpengaruh pada pola pikir santri.

d. Ustadz atau Kiyai
Ustadz atau Kiyai adalah orang tua kedua setelah orang tua yang berdasarkan keturunan karena ustadz dan kiyai yang mendidik dan mengajar para santri, mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali. Semua tingkah laku ustadz dan kiyai dilihat dan diikuti oleh para santri sehingga membentuk pola pikir dan pola hidup santri.

BAB IV
DAMPAK NEGATIF KITAB TA’LIM AL-MUTA’ALLIM TERHADAP KEBEBASAN POLA BERPIKIR SANTRI

4.1 Proteksi Berlebihan Terhadap Ilmu
Salah satu dampak negatif kitab ta’lim al-muta’allim terhadap kebebasan pola berpikir santri yaitu seorang santri sangat anti terhadap ilmu modern atau ilmu yanng datang setelah masa nabi muhammad s.a.w, para sahabat, tabi’in, seta tabi’ tabi’in. adalah sesuatu yang sangat berlebihan bila mengikuti anjuran syaikh zarnuji unutk hanya mempelajari ilmu yang ditinggalkan oleh rasul, sahabat, tabi’in, serta tabi’ tabi’in. dan meninggalkan cabang-cabang ilmu yang datang setelahnya, hal ini terdapat pada pasal 3 tentang memilih guru, teman, dan tentang ketabahan :

“dan hendaklah memilih ilmu kuno, bukan lmu yang baru, para ulama berkata : “tekunilah ilmu yang kuno dan jauhilah ilmu yang baru”.

Dalam kutipan diatas seakan kita tidak mengakui adanya proses seleksi alam yang telah menjadi sunnatullah yang apabila tidak mengikutinya akan ditinggalkannya, dari sini bisa dilihat cara berpikir syaikh zarnuji dengan keyakinannya bhawa masa-masa terbaik yaitu pada masa awal islam. Padahal perjalanan islam selama ini justru terus menuj perbaikan mengacu pada ilmu-ilmu yang datang setelahnya dengan tidak menfikan segala kekurangan yang ada.
Dalam kitab ini pengarang juga lebih mengunggulkan atu memperioritaskan ilmu dan ahli fiqih, banyak keterangan-keterangan yang terdapat dalam kitab ini, salah satunya pada pasal 1 tentang pengertian ilmu, fiqih, dan keutamaanya :
“ketahuilah, bahwa tidak diharuskan bagi stiap muslim untuk menuntut semua ilmu, tetapi yang diharuskan adalah meenuntut ilmu hal, sebagaiman dinyatakan “ilmu paling utama adalah ilmu hal dan perbuatan yang paling utama adalah memelihara hal”.

Yang dimaksud ilmu hal adalah ilmu penegetahuan yang selalu diperlukan dalam melaksanakan agama, yaitu ilmu ushuludin dan fiqih. Dua macam ilmu ini tidak dapat diabaikan oleh setiap muslim, karena ilmu yang pertama akan membimbing kehidupan iman dan ruhaninya, sedang yang kedua akan membimbing perbuatan jasmani dalam menunaikan tugas agamanya . Dari keterangan diatas memunculkan pandangan bahwa ilmu yang wajib dipelajari hanya ilmu yang berkenaan dengan agama khususnya ilmu fiqih. Pada kutipan yang lain pada pasal yang sama yaitu :

“……belajarlah fiqih, dialah panglima unggulan menuju kebaikan dan taqwa dan dialah adilnya adil. Ia ilmu petunjuk ke jalan hidayah, ia benteng penyelamat dari segala bencana, seorang faqih wiro’i, sungguh lebih berat setan menggodanya daripada ‘abid seribu”.

4.2 Hilangnya Daya Kritisme
Dalam isi kitab ini banyak sekali yang memasung daya kritisme santri, sehingga didalam pesantren jarang sekali terlihat adanya aktifitas-aktifitas diskusi ilmiah yang dilakukan santri, tidak adanya perdebatan-perdebatan dan perbedaan pendapat, yang ada hany sistem pendidikan konvensional, kiyai membaca kitabnya, sementara santri patuh dengan menundukan mata, hati, dan pikirannya atas seluruh pendapat gurunya (kiyainya) tanpa menanyakan alasan dari setiapkata dan keputusan gurunya itu. Seperti dalam pasal 3 tentang memilih, guru, teman, dan tentang ketabahan :

“waspadalah, jangan terperangkap dalam ilmu perdebatan yang tumbuh subur setelah habisnya para ulama besar, karena ilmu tersebut akan menjauhkan pelajar dari fiqih, membuang-buang umur dan melahirkan sifat buas serta permusuhan”.
Dalam pernyataan diatas, menerangkan bahwa ilmu perdebatan harus diwaspadai dan dihindari, ilmu perdebatan disini yaitu ilmu mantiq dan filsafat, dengannya kita mampu memahami islam secara rasional bukan hanya keyakinan yang tak berdasar pada proses pencarian atau olah pikir, mengikuti al-qur’an dan sunnah tanpa adanya proses tela’ah dan analisa. Pada pasal 6 tentang permulaan belajar, kapasitas belajar, dan tata tertib belajar :

“……lain halnya ahli dholalah (pengikut kesesatan), mereka membanggakan logika dan akal, mencari kebenaran dari makhluk yang lemah yaitu akal, sebagaimana mata, tidak mampu meng-cover segala sesuatu secara menyeluruh, maka mereka tertutup dan tidak dapat mengetahui kebenaran, akhirnya tersesat dan menyeatkan”.

Dari kutipan diatas begitu jelas bahwa orang yang menggunakan logika dan akal untuk berpikir mencari kebenaran dianggap sebagai seseorang yang sesat. Paahal banyak sekali ayat Al-Qur’an yang memerintahkan kekpada manusia unutk berpikir dan menggunakan akalnya. Hal ini membuat para santri menjauhi logika dan akal, mereka hanya tunduk dan patuh atas semua pendapat guru atau kiyai. Sudah menjadi pemahaman yang jelas bahwa suatu keyakinan adalah setekah kita memehami, sehingga keyakinan tertanam kuat karena seuai dengan logika dan pemahaman. Allah S.W.T tidak akan memerintahkan dan membebani sesuatu jika manusia tidak bisa memahaminya dan memikulnya. Adapun kekhawatiran syaikh zarnuji menjauhnya umat dari agama dan banyaknya pertentangan dalam pemahaman terhadapnya adalah suatu yang tidak mendasar, karena dengan itu semua islam menjadi lebih berwarna, hingga umat bis memilih sendiri apa yang terbaik untuknya, sehingga islam menjadi rahmah lil al-alamin.
4.3 Menjadikan Fanatik Kepada Ustadz (Guru) atau Kiyai dan statemennya
Pada pasal 4 tentang penghormatan terhadap ilmu dan ulama :

“tiada keberhasilan seseorang dalam mencapai sesuatu kecuali dengan menghormatinya, tiada kegagalan selain karena tidak mau menghormatinya”.

Dalam pernyataan diatas, diterangkan dimana seorang murid tidak akan mendapatkan ilmu dari apa yang telah dipelajarinya kecuali dengan ras hormat terhadap ilmu dan guru yang mengajarkannya. Anjuran tersebut memang tidak ada salahnya, hanya saja dalam metode penyampaiannya yang sangat membahayakan bagi para pembaca (khususnya:santri). Bagaimanakah seseorang dengan menghormati guru bisa mendapatkan ilmu bermanfaat tanpa adanya proses pembelajaran, bermanfaat atau tidaknya suatu ilmu bergantung pada si murid sendiri, bisa mengamalkannya atau memanfaatkannya atau tidak. Hal ini akan berakibat juga pada hilangnya daya kritisme santri. Masih pada pasal 4 tentang penghormatan ilmu dan ulama :

“Diantara perbuatan menghormati guru adalah tidak melintas dihadapannya, tidak menduduki tempat duduknya, tidak memulai pembicaran kecuali atas izinnya, tidak banyak bicara disebelahnya dan tidak menanyakan sesuatu yang membosankannya, hendaklah pula mengambil waktu yang tepat dan jangan pernah mengetuk pintu tetapi bersabarlah ampai beliau keluar”.

Posisi guru seakan adalah penentu utama bagi keberlangsungan pembelajaran si murid dan masa depannya, mengusung sistem belajar pasif , karena guru adalah penentu utama, hak guru dalam mengatur murid hingga pada hal yang sangat spesifik. Masih pada pasal 4 juga :

“dianjurkan kepada penuntut ilmu agar tidak memilih sendiri bidang studinya, tetapi menyerahkan hal itu semua pada guru, demikianlah karena guru telah sering melakukan uji coba sehingga lebih tahu tentang apa yang terbaik untuk seseorang dan ssuai dengan bakatnya”.

Sikap pasrah seorang murid untuk menentukan apa yang harus dipelajarinya. Itu tentu tidak pas karena murid lebih tahu akan tabiat dirinya untuk menentukan apa yang baik unutk dirinya. Hal yang lebih menyedihkan lagi dari semua itu bahwa santri menganggap bahwa kiyai adalah orang suci yang setiap kelakuannya adalah baik dan memberikan manfa’at seta barakah sehingga sering kita melihat santri yang berebut untuk bersalaman, berebut bekas minuman kiyai, meminta do’a dan barakah yang berlebihan. Serta sering sekali para santri menerima statemen-statemen dari kiyai yang isinya kurang tepat untuk dilaksanakan seperti pada saat seorang santri bertanya tentang pelajaran kemudian kiyai menjawab: “ teruskan saja belajarnya, nggak usah banyak tanya nanti juga ketemu sendiri jawabannya.” Statemen ini akan menyebabkan seorang santri hilang daya kritismenya, karena dia beranggapan bahwa seorang murid tidak sepantasnya bertanya tentang kebenaran apa yang telah gurunya sampaikan.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Dari pembahasan karya ilmiah ini penulis mengambil beberapa kesimpulan antara lain yaitu :
1. Pengertian kitab Ta’lim al-Muta’allim yaitu buku yang membahas tentang pelajaran bagi penuntut ilmu akan jalannya belajar, kitab ini banyak dijadikan pedoman pondok-pondok pesantren untuk memberiakan pengetahuan dasar tentang metode pendidikan dan pengajaran.
2.Pengertian kebebasan pola berpikir santri yaitu sketsa pemikiran seorang santri dalam melihat, merumuskan, memilah, dan memecahkan masalah. Faktor-faktor yang mempengaruhi pola berpikir santri yaitu: Al-Qur’an, Al-Hadist, Kitab, dan Ustadz atau Kiyai.
3. Dampak negatif kitab Ta’lim al-Muta’allim terhadap kebebasan pola berpikir santri yang diketahui penulis yaitu: proteksi berlebihan terhadap ilmu, hilangnya daya kritisme, fanatik kepada ustadz(guru) atau kiyai.

5.2 Saran
penulis memberikan saran kepada intelektual dan para pelajar muslim untuk menulis dan meneliti dampak positif kitab Ta’lim al-Muta’allim karena banyak sekali dampak positif yang belum diketahui. sedangkan, para intelektual non muslim gencar sekali meneliti dampak negatif dari kitab ini.

Selain dampak negatif penulis juga menemukan sisi positif yang terdapat pada kitab ini, seperti dalam kata-kata Imam Abu Hanifah kepada rekan-rekan sahabatnya yang menjadi guru (dosen):”buatlah besar seban-serbanmu, buat pula lebar akan lengan bajumu”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar